Jumat, 29 Januari 2016

Tabel Anatomi Metodologi Penelitian

TABEL ANATOMI METODOLOGI PENELITIAN

No
ASPEK
URAIAN
1.
Paradigmatik
Positivistik à kuantitatif à antar variabel à Comtean
Interpretif à kualitatif à makna tindakan à weberian
Kritik à wacana à ideology kekuasaan à postmodernisme
2.
Metodologik
Metode kuantitatif à hubungan sebab akibat
Metode kualitatif à free will
Metode campuran (mixing methods) à logika triangulasi
Metode krits / refleksif à fungsi kritis / perbaikan
3.
Dorongan
Applied à finishing the problem
Pure à developing science
4.
Keluasan wilayah kajian
Mikro
Makro
Meso 
5.
Unit of analysis
Mikro obyektif à tindakan individual
Mikro subyektif à pengalaman individual, ide, pendapat
Makro obyektif à masyarakat, birokrasi, hokum, pendidikan
Makro subyektif à kultur, norma, nilai
6.
Sifat masalah
Eksploratori à menjelajah fenomena baru
Deskriptif à memaparkan fenomena
Eksplanatori à menjelaskan (hubungan) dua fenomena atau lebih
Prediktif à meramalkan kecenderungan fenomena
Interpretif à memahami fenomena
Kritis à penafsiran tandingan
Historis à rekonstruksi rangkaian kejadian penting masa lalu
7.
Perolehan data
Field research
Text analysis
8.
Jenis data yang dikaji
Analisis teks dan bahasa
Analisis tema budaya
Analisis kinerja
Semoga bermanfaat ^_^


Hindari Kesalahan Penulisan Disertasi

HINDARI KESALAHAN PENULISAN DISERTASI !!!

No
AKSIOMA
BENTUK KESALAHAN
1.
Substansi
Menentukan tema /objek kajian à pastikan wilayah kajian bidang ilmu yang ditekuni


Kesalahan mengajukan kualitas pertanyaan à pertanyaan tidak boleh bersifat teknis atau operasional
2.
Teori
Kesalahan memahami teori; antara membuktikan dan memahami


Kesalahan memilih teori sebagai pisau analisis
3.
Metodologis
Menulis ulang tentang teori metode penelitian (definisi metode penelitian, ciri-ciri dan prosedurnya, cara memperoleh data, dan sebagainya)
4.
Bahasa
Tata bahasa, pemenggalan kata, ejaan, kutipan
Semoga bermanfaat ^_^


Senin, 08 Desember 2014

Konflik Agama Tinjauan Psikologi

KONFLIK AGAMA PERSPEKTIF INTERDISIPLINER
(Analisa Kritis Perspektif Ilmu Psikologi)


A.            Latar Belakang
Perbedaan konsepsi antara agama-agama yang ada merupakan sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Perbedaan konsepsi itu terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi  tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan sosial. Hal ini dalam prakteknya cukup sering memicu konflik fisik antara umat yang berbeda agama.
Sebagian kelompok menyatakan bahwa perbedaan konsep keagamaan menjadi sumber konflik utama antar umat manusia. Ini terbukti melalui sejumlah teks  keagamaan yang mengatur masalah kekerasan dan peperangan. Misalnya, dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh (sebutan Tuhan dalam Bibel) digambarkan sebagai “God of War”. Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan).[1] Oleh sebab itu, agama dianggap  sumber konflik atau setidaknya memberikan legitimasi terhadap berbagai konflik sosial.
Ferguson (1977) berpendapat, “Every major religious tradition includes its justification for violence”. Sebagian lain menyimpulkan bahwa agama-agama memberikan ajaran dan contoh-contoh yang melegitimasi pembunuhan. Dalam tradisi Islam dan Kristen (bahkan Yahudi), Tuhan membunuh masyarakat dan memerintahkan masyarakat untuk melakukan hal yang sama.[2]
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik diantara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” diutamakan. Pada level eksoteris agama-agama memang berbeda, namun pada level esoteris, semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan, termasuk Islam dan Kristen.[3]
Secara psikologis, dalam diri individu selalu terjadi konflik (pertentangan) antara yang baik dan buruk. Pembedaan baik dan buruk tersebut bersumber dari pengalaman setiap  individu. Hal ini terkait dengan konflik  moral yang terjadi pada  individu, bukan  sebagai produk sikap keagamaan. Sebab orang-orang yang tidak mempercayai agama sejauh ini bisa juga dipengaruhi oleh suatu sistem kewajiban moral sebagaimana orang-orang yang memiliki sistem keagamaan yang  kuat.
Robert H. Thouless menjelaskan bahwa  ada beberapa interaksi psikologik yang penting antara sikap keagamaan dan konflik moral itu. Disini perlu dikemukakan bahwa dalam interaksi ini terdapat kecenderungan pengalaman konflik moral yang menjadi salah satu sumber sikap keagamaan itu.[4] Konflik moral yang terjadi pada seseorang dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang menentukan sikap keagamaan. Konflik tersebut merupakan konflik antara kekuatan-kekuatan yang terdapat pada baik dan buruk dalam dirinya sendiri.
Manusia sebagai individu yang unik memiliki akal (rasio) dan hati (qalb) yang bisa membedakan hal yang baik (haq) dan buruk (bathil). Manusia bebas menentukan sikap beragama sesuai dengan apa yang diyakini dan dipahami. Selama ini realitas yang terjadi di masyarakat, kecenderungan dalam sikap beragama lebih dominan dipengaruhi faktor keturunan. Namun di tengah-tengah perjalanan hidup, tidak sedikit individu yang beralih agama. Fenomena ini tentu berpotensi menimbulkan konflik. Baik yang dialami oleh individu itu sendiri maupun terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya.   
Konflik agama akan menarik ketika dipandang dari berbagai disiplin ilmu (interdisipliner). Sebuah konflik tidak selalu disebabkan oleh faktor eksternal, melainkan faktor internal yang sangat mungkin berpotensi besar menimbulkan konflik agama. Oleh karena itu, makalah ini berusaha menjelaskan tentang konflik agama perspektif ilmu psikologi.

B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas, maka diambil rumusan masalah :
1.      Bagaimanakah ilmu psikologi memandang sebuah konflik agama ?
2.      Apa saja faktor penyebab terjadinya konflik agama ?
3.      Bagaimana upaya mereduksi konflik agama ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konflik Agama Tinjauan  Psikologi
Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari seputar aktivitas kejiwaan manusia. Dalam hal ini, pilihan manusia untuk beragama dipengaruhi kondisi kejiwaan dan ditentukan pola berfikir. Maka dalam memberikan konsep tentang agama akan bervariatif pula. Menurut salah seorang tokoh psikologi klasik, Sigmund Freud, Dunia agama itu adalah dunia khayalan. Menurutnya, kebutuhan akan iman kepada Tuhan dan agama timbul dari perasaan ketidakmampuan manusia dalam hubungannya terhadap dunia di luarnya. Ketidakmampuan ini mengarah kepada sebuah konflik batin yang hanya dapat dirasakan oleh individu itu sendiri. Konsep gunung es Freud menggambarkan bahwa kepribadian individu ditentukan tiga aspek, yakni id, ego, dan super ego. Pada level superego inilah telah terjadi konflik dalam diri manusia itu sendiri.
Sedangkan William James menyatakan Agama adalah berkenaan dengan nilai untuk membantu manusia  menghadapi kehidupan secara positif dan berani. Itu dilihat sebagai tujuan batas mengenai kenyataan bahwa ada sesuatu yang salah dengan diri kita dan dengan cara-cara untuk menyelamatkan kita dari diri yang salah. Dengan kata lain, agama menolong manusia untuk menerima diri dan kondisi hidupnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada diri manusia juga tidak akan terlepas dari konflik dalam konteks individual.
Konflik merupakan sebuah pertentangan antara individu dengan individu maupun kelompok yang satu dengan yang lain. Salmaini Yeli menulis pendapat Luthans bahwa konflik adalah kondisi yang timbul oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan-kekuatan itu bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu  perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.[5] Selanjutnya Salmaini mengemukan hasil analisis penelitian W. Starbuck bahwa timbulnya keraguan manusia terhadap agama disebabkan beberapa faktor, diantaranya yaitu 1) Kepribadian yang  menyangkut salah tafsir terhadap konsep keagamaan dan jenis kelamin individu; 2) Kesalahan organisasi dan pemuka agama; 3) Naluriah; 4) Lingkungan  masyarakat  dan pendidikan; 5)  Percampuradukan  antara agama dan  mistik.
    Dengan kata lain bahwa konflik adalah pertemuan antara dua macam pilihan  yang berbeda dan harus dilaksanakan pada waktu yang sama. Pada saat seseorang dihadapkan dua pilihan, maka  pada waktu itu timbul  konflik dalam diri individu (psikis), namun setiap konflik atau keraguan  selalu  diiringi dengan motif yang disebut dengan konflik motif. Terjadinya konflik motif itu disebabkan  adanya  beberapa tujuan yang ingin dicapai  dalam waktu yang sama. Setiap manusia  mempunyai motif  untuk  bertingkah laku atau  bertindak terhadap sesuatu objek. Motif  merupakan   suatu   pengertian  yang   melingkupi semua  penggerak,  alasan-alasan   atau  dorongan-dorongan dalam  diri manusia yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu yang menjadi keinginan individu. Setiap konflik yang terjadi pada manusia selalu berasal atau ditopang oleh motif yang berada dalam  diri  individu yang mendorong manusia untuk mencapai objeknya.
Sementara itu, Jalaludddin menegaskan macam-macam konflik keagamaan yang dialami  manusia[6], yaitu :
1.      Konflik   yang  terjadi  antara  percaya  dan  ragu-ragu.
2.      Konflik  yang  terjadi  antara pemilihan  satu  diantara  dua macam ide keagamaan serta  lembaga keagamaan.
3.      Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekulerisme.
4.      Konflik  yang   terjadi  antara   melepaskan   kebiasaan   masa   lalu. 
Oleh karena itu, terdapat dua motif yang perlu diperhatikan dalam menganalisa konflik agama dari sudut pandang psikologi, yakni kebutuhan dan keraguan. Sehingga konflik yang dialami pun terbagi menjadi tiga level, yaitu intrapersonal, interpersonal, dan massa.   

B.     Faktor Penyebab Konflik Agama
Timbulnya konflik terhadap agama merupakan gambaran dari keadaan masyarakat yang dipenuhi oleh penderitaan, kemorosotan moral, penyimpangan, dan korupsi. Pada setiap aspek kehidupan seolah-olah agama atau organisasi tertentu tidak mampu membimbing anggotanya ke arah yang baik.
Pada prinspnya, konflik keagamaan yang terjadi pada individu dipengaruhi  oleh tiga faktor, yaitu :
a.  Intelegensia   (Inteligence)
Edward Thorndike, seorang tokoh psikologi koneksionisme mengatakan  bahwa  “Intellegence from the stand point of truth or fact” Intelegensia merupakan kemampuan individu untuk dapat menyesuaikan dirinya terhadap situasi dan  memberikan respon yang baik terhadap situmulus yang diterimanya.[7] Dalam konteks ini, timbulnya konflik keagamaan disebabkan manusia sebagai makhluk berfikir. Dengan berfikir seseorang dapat menghadapi masalah-masalah kehidupannya. Dan bila seseorang tidak memiliki kemampuan berfikir yang logis niscaya  tidak dapat memahami konsep-konsep agama, hidup, dan sosial dengan baik dan benar. Kondisi itu akan menimbulkan konflik, kebimbangan  atau  keraguan dalam diri mereka. Misalnya, manusia yang mengindentifikasikan bahwa Tuhan itu sama dengan manusia, hal ini  menunjukkan  bahwa intelegensianya belum berfikir dengan logis karena mereka menyamakan kekuasaan Tuhan dengan kekuasaan yang dimiliki manusia. Dari sini muncul dua tipe pola pikir, yaitu pola pikir empiris dan pola pikir wahyu . 
b. Jenis Kelamin
Faktor ini  termasuk  salah  satu  data  dan   fakta  yang cukup mempengaruhi terjadinya kebimbangan individu terhadap agama yang  disebabkan perbedaan jenis kelamin.  Dimana jenis kelamin perempuan sedikit sekali mengalami kebimbangan dalam beragama, sedangkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak terjadinya kebimbangan dalam beragama. Disebabkan laki-laki lebih banyak  menganalisa ajaran-ajaran agama yang akan dianutnya dengan pemikiran. Sedangkan wanita kebanyakan menerima jaran-ajaran agama tanpa kritik.[8]
c. Tradisi Agama (Religious Tradition)
Keluarga yang  hidup dilingkungan masyarakat yang keras dan ketat dalam memegang nilai-nilai dan ajaran  agamanya akan menimbulkan keraguan (kebimbangan) terhadap agama yang memiliki tradisi keagamaan, Sebaliknya,  orang-orang yang melaksanaan tradisi-tradisi  yang telah mereka terima secara turun temurun, akan turut membentuk sikap keagamaan individu. Dalam sosiologi tradisi keagamaan itu termasuk kedalam pranata primer yang sulit untuk dirubah karena menyangkut dengan kepercayaan, agama dan jati diri individu.
Timbulnya tradisi agama berasal dari emosi  keagamaan yang terjadi pada diri individu. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa emosi keagamaan atau religious emotion adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian  menghilang  lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang berlaku serba religi kemudian dari emosi keagamaan itu timbulnya konflik atau keraguan individu  yang berbeda  dalam  memahami agamanya.[9]

C.    Upaya Mereduksi Konflik Agama
Konflik agama pada dasarnya tidak perlu dihilangkan. Atau bahkan tidak mungkin untuk dihilangkan. Karena itu bersifat sunnatullah yang akan selalu hadir di sepanjang jaman. Ada agama atau tidak, manusia pasti akan mengalami konflik secara psikis maupun sosial. Maka yang dibutuhkan dalam menangani konflik agama saat ini adalah upaya mereduksi konflik agama yang dapat dilakukan menurut tinjauan  psikologi adalah sebagai berikut :
1.      Mengubah paradigma berpikir individu. Agama tidak serta merta dijadikan  sasaran sumber konflik, baik individual maupun sosial. Manusia pada dasarnya memiliki perasaan cemas dan harap dalam situasi apapun. Kondisi psikis inilah yang kiranya perlu untuk direkonstruksi dengan cara mencoba memadukan antara ajaran wahyu dan rasional yang dikaitkan dengan situasi masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.  
2.      Membangun kesadaran toleransi pada setiap kegiatan ritual keagamaan antar masyarakat tanpa harus mementingkan ego masing-masing.
3.      Membangun tradisi agama berbasis kearifan. Cara ini dapat ditempuh melalui jalan dialog yang berimbang dan tidak ada upaya saling menjatuhkan satu sama lain.








BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
a.       Konflik agama merupakan kondisi yang menunjukkan pertentangan atau keraguan terhadap dua hal yang terjadi pada tiga level, yakni intrapersonal, interpersonal, dan massa.
b.       Faktor-faktor yang dapat menyebabkan konflik agama yaitu inteligensi, jenis kelamin, dan tradisi agama.
c.       Konflik agama bukanlah suatu pertentangan yang tidak ada titik temunya, melainkan sebuah kondisi yang senatiasa terjadi kapanpun dan dimanapun sepanjang manusia memiliki sifat-sifat dasar sebagai makhluk yang berbudi luhur.








Daftar Pustaka
E. Usman  Effendi dan Juhaya S.Praja. 1985.  Pengantar Psikologi,  Bandung: Angkasa,  Cet, II.
Jalaluddin. 1996. Psikologi Agama,  Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, Cet. I.

Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: PT.  Dian Rakyat, Cet. VI.

Lester R. Kurtz, Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks.
Saiful Hamali. Konflik  Dan  Keraguan  Individu Dalam Perspektif Psikologi Agama. al-AdYaN/Vol.VIII, N0.1/Januari-Juni/2013.

Salmaini Yeli. 2012. Psikologi  Agama, Pekan Baru : Penerbit Zanafa dan Fak.Ush.UIN Suska Riau,  Cet.  I.  

Robert H. Thouless. 1992. An Introduction to the psychology of Religion, Terj. Machnun  Husein, Jakarta : CV. Rajawalai, Cet. 1.






[1] Lihat Q. S. al-Baqarah: 190- 191, al-Hajj: 39
[2] Lester R. Kurtz, Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, hlm. 215-216
[3] Di Indonesia, pernyataan-pernyataan yang bernada “menyamakan” agama mulai diungkapkan oleh para tokoh organisasi Islam. Lihat: pernyataan Ulil Abshar Abdalla, di majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002. Lihat juga Dr. Abdul Munir Mulkhan,  Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 44
[4] Robert H. Thouless, An Introduction to the psychology of Religion, Terj. Machnun Husein, Jakarta : CV. Rajawalai, Cet. 1, 1992, hal. 72

[5] Salmaini Yeli, Psikologi  Agama, Pekan Baru : Penerbit Zanafa dan Fak.Ush.UIN Suska Riau,  Cet.  I, 2012.   hal.  64
[6] Jalaluddin, Psikologi Agama,  Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1996,  hal.  78
[7]  E. Usman  Effendi dan Juhaya S.Praja, Pengantar Psikologi,  Bandung : Angkasa,  Cet, II, 1985,  hal. 89.
[8] Saiful Hamali. Konflik  Dan  Keraguan  Individu Dalam Perspektif Psikologi Agama. al-AdYaN/Vol.VIII, N0.1/Januari-Juni/2013. hlm. 35
[9] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: PT.  Dian Rakyat, Cet. VI, 1985, hal. 23.