KONFLIK
AGAMA PERSPEKTIF INTERDISIPLINER
(Analisa
Kritis Perspektif Ilmu Psikologi)
A.
Latar
Belakang
Perbedaan konsepsi antara agama-agama yang
ada merupakan sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun.
Perbedaan konsepsi itu terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang
konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan sosial.
Hal ini dalam prakteknya cukup sering memicu konflik fisik antara umat yang berbeda
agama.
Sebagian kelompok
menyatakan bahwa perbedaan konsep keagamaan menjadi sumber konflik utama antar
umat manusia. Ini terbukti melalui sejumlah teks keagamaan yang
mengatur masalah kekerasan dan peperangan. Misalnya, dalam tradisi
Judeo-Christian, Yehweh (sebutan Tuhan dalam Bibel) digambarkan sebagai “God of War”. Dalam Islam juga dikenal
konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan).
Oleh sebab itu, agama dianggap sumber konflik atau setidaknya
memberikan legitimasi terhadap berbagai konflik sosial.
Ferguson (1977) berpendapat,
“Every major religious tradition includes
its justification for violence”. Sebagian lain menyimpulkan bahwa
agama-agama memberikan ajaran dan contoh-contoh yang melegitimasi pembunuhan.
Dalam tradisi Islam dan Kristen (bahkan Yahudi), Tuhan membunuh masyarakat dan
memerintahkan masyarakat untuk melakukan hal yang sama.
Cara pandang terhadap agama
dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik telah menimbulkan berbagai
upaya menafsirkan kembali ajaran agama kemudian dicarikan titik temu pada level
tertentu, dengan harapan konflik diantara umat manusia akan teredam jika faktor
“kesamaan agama” diutamakan. Pada level eksoteris agama-agama memang berbeda, namun
pada level esoteris, semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai
jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan, termasuk Islam dan
Kristen.
Secara
psikologis, dalam diri individu selalu terjadi konflik (pertentangan) antara yang baik dan buruk. Pembedaan baik
dan buruk tersebut bersumber dari pengalaman setiap individu. Hal ini terkait dengan konflik moral yang terjadi pada individu, bukan sebagai produk sikap keagamaan. Sebab
orang-orang yang tidak mempercayai agama sejauh ini bisa juga dipengaruhi oleh
suatu sistem kewajiban moral sebagaimana orang-orang yang memiliki sistem
keagamaan yang kuat.
Robert
H. Thouless menjelaskan bahwa ada
beberapa interaksi psikologik yang penting antara sikap keagamaan dan konflik
moral itu. Disini perlu dikemukakan bahwa dalam interaksi ini terdapat
kecenderungan pengalaman konflik moral yang menjadi salah satu sumber sikap
keagamaan itu. Konflik moral yang terjadi
pada seseorang dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang menentukan sikap
keagamaan. Konflik tersebut merupakan konflik antara kekuatan-kekuatan yang
terdapat pada baik dan buruk dalam dirinya sendiri.
Manusia sebagai individu yang unik memiliki
akal (rasio) dan hati (qalb) yang bisa membedakan hal yang baik (haq) dan buruk
(bathil). Manusia bebas menentukan sikap beragama sesuai dengan apa yang
diyakini dan dipahami. Selama ini realitas yang terjadi di masyarakat,
kecenderungan dalam sikap beragama lebih dominan dipengaruhi faktor keturunan. Namun
di tengah-tengah perjalanan hidup, tidak sedikit individu yang beralih agama. Fenomena
ini tentu berpotensi menimbulkan konflik. Baik yang dialami oleh individu itu
sendiri maupun terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya.
Konflik agama akan menarik ketika dipandang
dari berbagai disiplin ilmu (interdisipliner). Sebuah konflik tidak selalu
disebabkan oleh faktor eksternal, melainkan faktor internal yang sangat mungkin
berpotensi besar menimbulkan konflik agama. Oleh karena itu, makalah ini
berusaha menjelaskan tentang konflik agama perspektif ilmu psikologi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas, maka
diambil rumusan masalah :
1. Bagaimanakah
ilmu psikologi memandang sebuah konflik agama ?
2. Apa
saja faktor penyebab terjadinya konflik agama ?
3. Bagaimana
upaya mereduksi konflik agama ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konflik
Agama Tinjauan Psikologi
Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari seputar
aktivitas kejiwaan manusia. Dalam hal ini, pilihan manusia untuk beragama dipengaruhi
kondisi kejiwaan dan ditentukan pola berfikir. Maka dalam memberikan konsep
tentang agama akan bervariatif pula. Menurut salah seorang tokoh psikologi
klasik, Sigmund Freud, Dunia agama itu adalah dunia khayalan. Menurutnya, kebutuhan
akan iman kepada Tuhan dan agama timbul dari perasaan ketidakmampuan manusia
dalam hubungannya terhadap dunia di luarnya. Ketidakmampuan ini mengarah kepada
sebuah konflik batin yang hanya dapat dirasakan oleh individu itu sendiri. Konsep
gunung es Freud menggambarkan bahwa kepribadian individu ditentukan tiga aspek,
yakni id, ego, dan super ego. Pada level superego inilah telah terjadi konflik
dalam diri manusia itu sendiri.
Sedangkan
William James menyatakan Agama adalah berkenaan dengan nilai untuk membantu
manusia menghadapi kehidupan secara positif dan berani. Itu dilihat
sebagai tujuan batas mengenai kenyataan bahwa ada sesuatu yang salah dengan
diri kita dan dengan cara-cara untuk menyelamatkan kita dari diri yang salah.
Dengan kata lain, agama menolong manusia untuk menerima diri dan kondisi
hidupnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada diri manusia juga tidak akan
terlepas dari konflik dalam konteks individual.
Konflik merupakan sebuah pertentangan antara individu
dengan individu maupun kelompok yang satu dengan yang lain. Salmaini Yeli menulis pendapat Luthans bahwa konflik adalah
kondisi yang timbul oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan.
Kekuatan-kekuatan itu bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri
diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu
perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.
Selanjutnya Salmaini mengemukan hasil analisis penelitian W. Starbuck bahwa
timbulnya keraguan manusia terhadap agama disebabkan beberapa faktor, diantaranya
yaitu 1) Kepribadian yang menyangkut
salah tafsir terhadap konsep keagamaan dan jenis kelamin individu; 2) Kesalahan
organisasi dan pemuka agama; 3) Naluriah; 4) Lingkungan masyarakat
dan pendidikan; 5)
Percampuradukan antara agama dan mistik.
Dengan kata lain bahwa konflik adalah
pertemuan antara dua macam pilihan yang
berbeda dan harus dilaksanakan pada waktu yang sama. Pada saat seseorang
dihadapkan dua pilihan, maka pada waktu
itu timbul konflik dalam diri individu
(psikis), namun setiap konflik atau keraguan
selalu diiringi dengan motif yang
disebut dengan konflik motif. Terjadinya konflik motif itu disebabkan adanya
beberapa tujuan yang ingin dicapai
dalam waktu yang sama. Setiap manusia
mempunyai motif untuk bertingkah laku atau bertindak terhadap sesuatu objek. Motif merupakan
suatu pengertian yang
melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atau
dorongan-dorongan dalam diri
manusia yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu yang menjadi keinginan
individu. Setiap konflik yang terjadi pada manusia selalu berasal atau ditopang
oleh motif yang berada dalam diri individu yang mendorong manusia untuk
mencapai objeknya.
Sementara itu, Jalaludddin menegaskan
macam-macam konflik keagamaan yang dialami
manusia, yaitu :
1. Konflik yang terjadi
antara percaya dan ragu-ragu.
2.
Konflik yang
terjadi antara pemilihan satu
diantara dua macam ide keagamaan
serta lembaga keagamaan.
3.
Konflik yang terjadi oleh
pemilihan antara ketaatan beragama atau sekulerisme.
4.
Konflik yang
terjadi antara melepaskan
kebiasaan masa lalu.
Oleh
karena itu, terdapat dua motif yang perlu diperhatikan dalam menganalisa konflik
agama dari sudut pandang psikologi, yakni kebutuhan dan keraguan. Sehingga
konflik yang dialami pun terbagi menjadi tiga level, yaitu intrapersonal, interpersonal,
dan massa.
B. Faktor Penyebab Konflik Agama
Timbulnya
konflik terhadap agama merupakan gambaran dari keadaan masyarakat yang dipenuhi
oleh penderitaan, kemorosotan moral, penyimpangan, dan korupsi. Pada setiap
aspek kehidupan seolah-olah agama atau organisasi tertentu tidak mampu
membimbing anggotanya ke arah yang baik.
Pada
prinspnya, konflik keagamaan yang terjadi pada individu dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
a. Intelegensia
(Inteligence)
Edward Thorndike, seorang tokoh psikologi koneksionisme
mengatakan bahwa “Intellegence from the stand point of
truth or fact” Intelegensia merupakan kemampuan individu untuk dapat
menyesuaikan dirinya terhadap situasi dan
memberikan respon yang baik terhadap situmulus yang diterimanya.
Dalam konteks ini, timbulnya konflik keagamaan disebabkan manusia sebagai
makhluk berfikir. Dengan berfikir seseorang dapat menghadapi masalah-masalah
kehidupannya. Dan bila seseorang tidak memiliki kemampuan berfikir yang logis
niscaya tidak dapat memahami
konsep-konsep agama, hidup, dan sosial dengan baik dan benar. Kondisi itu akan
menimbulkan konflik, kebimbangan
atau keraguan dalam diri mereka.
Misalnya, manusia yang mengindentifikasikan bahwa Tuhan itu sama dengan
manusia, hal ini menunjukkan bahwa intelegensianya belum berfikir dengan
logis karena mereka menyamakan kekuasaan Tuhan dengan kekuasaan yang dimiliki
manusia. Dari sini muncul dua tipe pola pikir, yaitu pola pikir empiris dan
pola pikir wahyu .
b. Jenis Kelamin
Faktor ini termasuk salah
satu data dan
fakta yang cukup mempengaruhi
terjadinya kebimbangan individu terhadap agama yang disebabkan perbedaan jenis kelamin. Dimana jenis kelamin perempuan sedikit sekali
mengalami kebimbangan dalam beragama, sedangkan jenis kelamin laki-laki lebih
banyak terjadinya kebimbangan dalam beragama. Disebabkan laki-laki lebih banyak menganalisa ajaran-ajaran agama yang akan dianutnya
dengan pemikiran. Sedangkan wanita kebanyakan menerima jaran-ajaran agama tanpa
kritik.
c. Tradisi Agama (Religious Tradition)
Keluarga yang hidup
dilingkungan masyarakat yang keras dan ketat dalam memegang nilai-nilai dan
ajaran agamanya akan menimbulkan
keraguan (kebimbangan) terhadap agama yang memiliki tradisi keagamaan,
Sebaliknya, orang-orang yang melaksanaan
tradisi-tradisi yang telah mereka terima
secara turun temurun, akan turut membentuk sikap keagamaan individu. Dalam
sosiologi tradisi keagamaan itu termasuk kedalam pranata primer yang sulit
untuk dirubah karena menyangkut dengan kepercayaan, agama dan jati diri
individu.
Timbulnya tradisi agama berasal dari emosi keagamaan yang terjadi pada diri individu.
Koentjaraningrat menjelaskan bahwa emosi keagamaan atau religious emotion
adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang
manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya
berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian
menghilang lagi. Emosi keagamaan
itulah yang mendorong orang berlaku serba religi kemudian dari emosi keagamaan
itu timbulnya konflik atau keraguan individu
yang berbeda dalam memahami agamanya.
C.
Upaya
Mereduksi Konflik Agama
Konflik agama pada dasarnya tidak perlu dihilangkan.
Atau bahkan tidak mungkin untuk dihilangkan. Karena itu bersifat sunnatullah
yang akan selalu hadir di sepanjang jaman. Ada agama atau tidak, manusia pasti
akan mengalami konflik secara psikis maupun sosial. Maka yang dibutuhkan dalam
menangani konflik agama saat ini adalah upaya mereduksi konflik agama yang
dapat dilakukan menurut tinjauan psikologi adalah sebagai berikut :
1. Mengubah
paradigma berpikir individu. Agama tidak serta merta dijadikan sasaran sumber konflik, baik individual
maupun sosial. Manusia pada dasarnya memiliki perasaan cemas dan harap dalam
situasi apapun. Kondisi psikis inilah yang kiranya perlu untuk direkonstruksi dengan
cara mencoba memadukan antara ajaran wahyu dan rasional yang dikaitkan dengan
situasi masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.
2. Membangun
kesadaran toleransi pada setiap kegiatan ritual keagamaan antar masyarakat
tanpa harus mementingkan ego masing-masing.
3.
Membangun tradisi agama berbasis
kearifan. Cara ini dapat ditempuh melalui jalan dialog yang berimbang dan tidak
ada upaya saling menjatuhkan satu sama lain.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas,
dapat disimpulkan bahwa :
a. Konflik
agama merupakan kondisi yang menunjukkan pertentangan atau keraguan terhadap
dua hal yang terjadi pada tiga level, yakni intrapersonal, interpersonal, dan
massa.
b. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan konflik
agama yaitu inteligensi, jenis kelamin, dan tradisi agama.
c.
Konflik agama bukanlah suatu
pertentangan yang tidak ada titik temunya, melainkan sebuah kondisi yang
senatiasa terjadi kapanpun dan dimanapun sepanjang manusia memiliki sifat-sifat
dasar sebagai makhluk yang berbudi luhur.
Daftar
Pustaka
E. Usman Effendi dan Juhaya
S.Praja. 1985. Pengantar Psikologi, Bandung: Angkasa, Cet, II.
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial,
Jakarta: PT. Dian Rakyat, Cet. VI.
Lester R. Kurtz, Gods in the Global Village, Pine Forge
Press, Thousand Oaks.
Saiful
Hamali. Konflik
Dan Keraguan Individu Dalam Perspektif Psikologi Agama. al-AdYaN/Vol.VIII, N0.1/Januari-Juni/2013.
Salmaini Yeli. 2012. Psikologi
Agama, Pekan Baru : Penerbit Zanafa dan Fak.Ush.UIN Suska Riau, Cet.
I.
Robert H. Thouless. 1992. An Introduction to the psychology of
Religion, Terj. Machnun Husein,
Jakarta : CV. Rajawalai, Cet. 1.
Lester
R. Kurtz, Gods in the Global Village,
Pine Forge Press, Thousand Oaks, hlm. 215-216
Di Indonesia,
pernyataan-pernyataan yang bernada “menyamakan” agama mulai diungkapkan
oleh para tokoh organisasi Islam. Lihat: pernyataan Ulil Abshar Abdalla, di
majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002. Lihat juga Dr. Abdul Munir
Mulkhan, Ajaran dan Jalan
Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 44
Robert
H. Thouless, An Introduction to the psychology of Religion, Terj.
Machnun Husein, Jakarta : CV. Rajawalai, Cet. 1, 1992, hal. 72
Salmaini
Yeli, Psikologi Agama, Pekan Baru
: Penerbit Zanafa dan Fak.Ush.UIN Suska Riau,
Cet. I, 2012. hal.
64
E. Usman
Effendi dan Juhaya S.Praja, Pengantar Psikologi, Bandung : Angkasa, Cet, II, 1985, hal. 89.
Saiful
Hamali. Konflik
Dan Keraguan Individu Dalam Perspektif Psikologi Agama. al-AdYaN/Vol.VIII, N0.1/Januari-Juni/2013. hlm. 35
Koentjaraningrat,
Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: PT. Dian Rakyat, Cet. VI, 1985, hal. 23.